Desa kita menyimpan potensi luar biasa dalam bidang usaha rumahan. Salah satunya adalah usaha pembuatan telur asin rumahan yang telah berjalan sejak tahun 2015 dan mendapatkan izin P-IRT pada tahun 2019. Dengan cita rasa khas dan bahan lokal, usaha ini menjadi salah satu contoh nyata semangat wirausaha dari warga desa. awal mula produksi telur asin ini berasal dari keinginan mencoba membuat sendiri untuk konsumsi pribadi, yang dipelajari secara otodidak melalui platform YouTube. Tak disangka, hasil percobaannya justru menarik minat orang lain untuk membeli. Sejak saat itu, usaha ini pun terus berjalan hingga kini menjadi usaha yang konsisten dan menjanjikan.

Telur asin yang diproduksi di desa ini memiliki keunikan tersendiri. Proses pembuatannya menggunakan bahan-bahan alami dan lokal seperti bata merah halus, air, garam, serta direbus dengan daun salam dan serai untuk memberikan aroma khas. Proses pengasinan membutuhkan waktu selama 10 hari, sehingga rasa dan kualitas telur benar-benar terjaga. Produksi dilakukan di dapur khusus yang telah disiapkan, dan biasanya dibantu oleh anggota keluarga sehingga menjadi usaha keluarga yang penuh kebersamaan.

Meski terlihat sederhana, proses produksi telur asin ini tidak lepas dari tantangan. Kadang ada telur yang rusak atau tidak layak jual. Selain itu, ketersediaan telur mentah dari beberapa supplier juga belum mampu sepenuhnya memenuhi permintaan. Telur asin ini dipasarkan di berbagai tempat seperti warung sembako, pasar tradisional, dan melalui pengepul. Bahkan, permintaan dalam jumlah besar juga datang dari luar desa, seperti dari daerah Sokaraja. Telur asin dijual dengan harga bervariasi tergantung ukuran, mulai dari Rp3.000 hingga Rp3.300 per butir. Produk biasanya dijual dalam kemasan pack isi 6 atau 10 butir, dan dalam skala besar dapat mencapai satu krat berisi 30 butir. Produksi telur asin juga tergantung pada stok telur mentah yang tersedia, dan sekali produksi bisa mencapai 300 hingga 500 butir.

Penulis : Dwi Wahyu Riyanto